Kamis, 04 Maret 2010

Bagimu-Poligamimu, Bagiku-Monogamiku

Isu tentang Poligami merupakan bahasan yang sangat menarik untuk dibicarakan. Ada kelompok yang pro dan ada pula kelompok yang kontra. Dan soal perang urat syaraf sudah sering terjadi antara dua kelompok ini. Secara bahasa Poligami adalah ikatan perkawinan di mana salah satu pihak mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan, Jadi poligami di sini adalah ikatan perkawinan di mana seorang suami punya beberapa istri dalam waktu bersamaan.

Jika kita membahas tentang Poligami maka tidak akan terlepas dari Surat An-Nisa ayat 3. Bagi kelompok yang Pro Poligami, surat ini selalu menjadi dasar hukumnya sebuah poligami itu sendiri.

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."


Sebelum terlalu jauh mentelaah, perlu diketahui tentang riwayat pernikahan Rasullallah dan motif dibalik pernikahan tersebut agar menjadi pemahaman kita bersama.

1.Menikah dengan Khadijah seorang janda kaya raya di masa itu, Khadijah menginginkan Rasul menjadi pemimpin perniagaannya. Dan selama menikah, Khadijah banyak membantu Rasullallah dalam melakukan dakwah mensyiarkan agama Islam. Tahun 619 M pada usia Rasul 49 tahun, Khadijah wafat. Sehingga jika dihitung maka usia pernikahan Rasullallah dengan Khadijah adalah selama 24 tahun, dan selama itu pulalah Rasullallah melakukan praktik monogami.
2.Menikah dengan Saudah binti Zam’a (70 tahun/ janda beranak 12). Dinikahi karena ingin mengabdi dengan Rasul untuk menjaga Fatimah yang masih berusia 10 tahun dan agar terhindar dari godaan kaum musyrikin.
3.Menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar yang masih berusia 6 tahun. Namun Aisyah baru dibawa ke rumah Rasul ketika berusia 10 tahun. Sebelumnya Abu Bakar sudah menawarkan kepada sahabat-sahabatnya untuk menikahi Aisyah ditolak. Maka untuk menyelamatkan nama baik saudaranya tersebut, akhirnya Rasullallah bersedia mempersunting Aisyah. Dan akhirnya Aisyah diharapkan oleh Abu Bakar untuk merekam sunnah Nabi dalam kehidupan rumah tangga serta menjadi corong bagi kaum wanita.
4.Menikah dengan Hafsa binti Umar (35 thn), janda Ummar bin Khatab. Hafshah merupakan salah seorang perempuan pertama di dalam Islam yang hafal dengan seluruh surat dan ayat al-Qur’an (Hafidzah). Pernikahan ini dimaksudkan agar keotentikan al-Qur’an bisa tetap terjaga dan untuk melindungi janda sahabat.
5.Menikah dengan Ummu Salamah (62 tahun), seorang janda yang suaminya syahid di Habsyi
6.Menikah dengan Zainab binti Jahsy (usia 45 tahun), seorang janda dari Zaid bin Haritsah (anak angkat Nabi). Peristiwa pernikahan ini disertai dengan turunnya surat Al Ahzab ayat 37 tentang menghalalkan menikahi bekas istri anak angkat bila telah dicerai. Dan akhirnya Islam menghapuskan status anak angkat.
7.Menikah dengan Juwariyah binti Mustaliq (65 tahun) seorang janda beranak 17 yang sebelumnya adalah seorang tawanan, yang dinikahi untuk dijadikan da’iyah bagi kaumnya.
8.Menikah dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan (47 tahun), seorang janda syuhada, dinikahi sekaligus untuk melunakkan hati ayahnya yang masih merupakan tokoh Kafir Quraisy di Makkah
9.Menikah dengan Safiyah binti Huyai (53 tahun) janda dua kali dan beranak 10, yang merupakan wanita Yahudi yang merupakan tawanan perang Khaibar. Dinikahi Nabi dengan mahar pembebasannya untuk dijadikan da’iyah bagi kaumnya.
10.Menikah dengan Maimunah (63 tahun), seorang janda terlantar.
11.Menikah dengan Mariyah al-Kibtiyyah (25 tahun), pernikahannya ini pun bertujuan untuk memerdekakan Mariyah dan menjaga iman Islamnya. Mariyah merupakan seorang budak yang dihadiahkan oleh Raja Muqauqis dari Iskandariyah Mesir


Demikian sejarah pernikahan Rasullallah, SAW yang kesemuanya jika disimpulkan adalah bahwa perbuatan Rasullallah dalam berpoligami memiliki sebuah landasan historis yang logis. Ada beberapa hal yang perlu diluruskan kembali terhadap pemahaman akan poligami yang selama ini dipahami sebagai sebuah anjuran kepada laki-laki.

Latar Belakang An Nisa 3
Sekali lagi, saya ingin menekankan bahwa tidak ada ayat-ayat Al-Quran yang turun secara sporadis tanpa ada hal-hal yang melatarbelakanginya. Al-Quran turun karena ada hal-hal historis yang logis. Turunnya ayat poligami itu berkaitan dengan kekalahan umat Islam dalam perang Uhud di tahun 625 M. Saat itu, banyak sekali prajurit muslim yang gugur di medan tempur dan mereka meninggalkan anak-anak yatim beserta istrinya. Saat itu, masyarakat Islam masih sangat terbatas, dan turunnya ayat poligami tampaknya didasarkan pada dua hal. Pertama, untuk menjaga keutuhan masyarakat Islam yang secara kuantitas masih sangat sedikit. Kedua, agar mereka yang akan bertindak sebagai pengayom anak-anak yatim dan janda korban perang dapat berlaku lebih adil.

Jadi objek dalam poligami itu sekali lagi adalah janda dan anak yatim korban dari perang. Jika kita kembalikan ke kontek kekinian, maka dasar yang menjadi sebab poligami sudah sangat jauh dari relevan terhadap kondisi pada masa ini.

Bisakah Manusia berlaku adil?!
Semangat pada ayat di atas, bagi kelompok Pro Poligami adalah diperbolehkan menikahi lebih dari satu orang wanita jika bisa berlaku adil. Adil bagi mereka adalah perlakuan yang sama dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah atau material. Keadilan atas siapa? Tentu yang dimadu (perempuan). Dari sudut pandang siapa keadilan itu? Ya, jelas sudut pandang perempuan. Sebab, yang menjadi objek poligami adalah perempuan; yang makan hati dan tahu takaran keadilan poligami adalah perempuan itu sendiri, utamanya yang dimadu. Sehingga sebenarnya laki-laki tidak akan tahu kadar keadilan yang harus diberikan kepada Istri-istrinya. Maka yang terjadi adalah keadilan dalam berpoligami hanya dilakukan berdasarkan pemahaman laki-laki/ suami saja, padahal belum tentu keadilan yang diberikan kepada Istri-Istri tersebut dirasakan adil juga oleh para istri. Lalu jika keadilan itu dipahami sebagai sebuah bentuk adil dalam "kecenderungan hati" atau dalam bentuk Rohaniah/ Spiritual, maka siapa yang tahu hati seseorang selain dirinya dan Tuhan-Nya.

Dan pertanyaan berikutnya adalah bagaimana mengukur rasa sayang yang Suami berikan kepada Istri itu adalah sama rata dan sama rasa?! Tidak ada ukuran yang valid untuk mengukur sebuah rasa yang bernama Kasih dan Sayang, karena rasa adalah hal yang abstrak.

Jadi, adil yang bagaimana yang bisa diberikan oleh seorang manusia kepada manusia lainnya?! Bahkan dalam surat An-Nisa ayat 129 diperjelas lagi:

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Poligami Bukan Sunnah
Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu sunah".

Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?

Seperti yang kita tahu di atas, Rasulullah SAW melepas status keperjakaan beliau pada usia 25 tahun (tahun 595 M) dengan mempersunting sorang wanita bernama Siti Khadijah r.a. pernikahan ini berlangsung selama 24 tahun (619 M) dan berakhir dengan wafatnya sang istri tercinta. Dalam kurun waktu ini, Rasulullah menghabiskan waktunya dengan bermonogami, hanya dengan Khadijah. Baru setelah wafatnya Khadijah, Rasulullah mulai berpoligami.

Pemahaman tentang Sunah adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Sehingga kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi. Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakar.

Poligami adalah masalah Budaya
Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda. Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.

Jika dirujuk ke zaman Rasullallah,SAW maka dizaman itu Islam membutuhkan banyak tentara untuk melancarkan ekspansinya sehingga dengan memperbanyak keturunan dan menikahi wanita yang memiliki anak maka akan semakin memperkuat posisi Islam dalam menjalankan misi ekspansinya.

Khatimah
Permasalahan poligami vs monogami sudah terlalu mengakar di tengah masyarakat, sehingga berbagai dalil akan dikeluarkan untuk meneguhkan argumen masing-masing. Saya berpendapat bahwa pernikahan yang ideal dalam Islam adalah Monogami, bukan Poligami, walaupun dalam Islam sendiri Poligami juga di atur dan disahkan. Dan Poligami tersebut hanyalah sebuah proses jalan menuju kesempurnaan pernikahan itu, yaitu monogami. Setiap ibadah yang kita kerjakan selalu berdasar pada sebuah keyakinan, dan saya hanya akan berkata untuk para laki-laki: "Bahagiakan Diri Dengan Satu Istri" dan untuk para Wanita : "Katakan tidak pada Poligami"8 komentar:
Khery Sudeska on 2009 Juli 23 01:38 mengatakan...
Mantap, bozzz. Setuju...!


Ronaldo Rozalino, Teluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi on 2009 Agustus 1 23:03 mengatakan...
Poligami No....Monogami Yess.....Satu untuk selamanya


ucok on 2009 Agustus 5 10:09 mengatakan...
maka dizaman itu Islam membutuhkan banyak tentara untuk melancarkan ekspansinya sehingga dengan memperbanyak keturunan dan menikahi wanita yang memiliki anak maka akan semakin memperkuat posisi Islam dalam menjalankan misi ekspansinya.

kata-kata ini kan hanya pandangan Denny ya,tapi aku kurang setuju, kesan nya seolah-olah objek

klu yang ini aku setuju poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.
sebab kedepan para pencinta poligami, bakalan menjadi alasan baginya untuk kebesaran Islam.

tp, itu pandangan aku cuy...


Anonim mengatakan...
Nauzubillah min dzalik!!...Tulisan ttg Poligami diatas adalah..Pandangan dari Orientalis anti Islam!!Kenapa harus dijadikan Pedoman...
Seharusnya sdh cukup bagi kita Alquran dan Hadist saja yg jadi Pedoman hidup kita!!Agar kita tidak di murkai allah swt.


Deny Rendra on 2009 Agustus 7 10:25 mengatakan...
@Ucok :
tulisan ini memang pemikiran saya, yah kira2 menurut sejarah yang saya pelajari memang begitu adanya. btw, thx atas komentarnya :)

@Anonim :
Saya seorang Muslim, i'allah hingga saat ini saya masih meng-Esa-kan Allah,SWT......

Benar bahwa Al-Quran dan Hadist menjadi pedoman kita, tapi tulisan saya itu juga membahas tentang itu. Namun, penafsiran mereka tentang Poligami terlalu sederhana dan digampang-gampang. Padahal poligami itu bukan masalah yang bisa digampang2kan, ia memberikan efek domino yang panjang kepada hal2 lainnnya.

Jika tulisan saya ini salah, mohon sampaikan dimana salahnya.... terima kasih !!!


Rose on 2009 Agustus 17 21:37 mengatakan...
mantap om...ini baru yg paling disukai...
http://www.acehbarat.info


Hapi on 2009 Agustus 20 22:30 mengatakan...
hello... hapi blogging... have a nice day! just visiting here....


Rita Susanti on 2009 Agustus 21 18:50 mengatakan...
Assalamualaikum Wr Wb...

Salam kenal Deny, duh topik nya sangat sensitif euuy:), Tapi saya fikir setiap orang memiliki hak untuk berpendapat, dan tentunya pendapatnya tersebut sesuai dengan ilmu dan pemahaman dia terhadap panduan Hidup AlQuran dan Sunnah.

Mengacu kepada Alquran bahwa poligami adalah dibolehkan di dalam islam, juga pernah dilakukan oleh Nabi yang tentunya dengan berbagai motif yang melatarbelakanginya...

Saya setuju bahwa semestinya pelaku poligami tidak meggampangkan permasalahan poligami tersebut (seperti yg sebagian besar terjadi di masyarakat), tetapi harus dipandang sebagai sebuah kebolehan yang diikuti dengan persyaratan yang telah ditentukan...

Tetapi menurut saya bukan berarti kita harus mengatakan tidak pada poligami selama kemaslahatannya lebih banyak dibandingkan dengan mudharatnya.

Saya menilai ada kalanya mungkin poligami itu bisa saja dianjurkan untuk tidak dilakukan ketika memang ternyata dipandang bahwa mudharat yang akan diterima jauh lebih besar dari maslahatnya. Nah itu kan tergantung dari konteks/kasus per kasus yang terjadi. Saya fikir kita harus bisa menilai hal ini kasus per kasus. Apa bedanya ketika Allah menghalalkan sesuatu yg haram bagi manusia ketika memang kondisinya darurat. Dan saya percaya ketika ada orang yang mengatakan bahwa poligami itu mendatangkan berkah dan sebagainya, ketika memang jalan poligami yang dia tempuh itu memang sesuai (mendekati) dengan apa yang telah digariskan di dalam Alquran.

*Ini hanya pandangan saya pribadi:)
Wassalam.


Poskan Komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar